Undang-Undang RI No 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan

Undang Undang Republik Indonesia No 9 Tahun 1990 Tentang  Kepariwisataan:
Menimbang:
  • Bahwa keadaan alam, flora dan fauna, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, serta seni dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan sumber daya dan modal yang besar artinya bagi usaha pengembangan dan peningkatan kepariwisataan;
  • bahwa kepariwisataan mempunyai peranan penting untuk memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah, memperbesar pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat serta memupuk rasa cinta tanah air, memperkaya kebudayaan nasional dan memantapkan pembinaannya dalam rangka memperkukuh jati diri  bangsa dan mempererat persahabatan antar bangsa;
  • bahwa dalam rangka pengembangan dan peningkatan kepariwisataan, diperlukan langkah-langkah pengaturan yang semakin mampu mewujudkan keterpaduan dalam kegiatan penyelenggaraan kepariwisataan, serta memelihara kelestarian dan mendorong upaya peningkatan mutu lingkungan hidup serta obyek dan daya tarik wisata;
  • bahwa untuk mewujudkan pengembangan dan peningkatan sebagaimana dimaksud diatas, dipandang perlu menetapkan ketentuan mengenai kepariwisataan dalam suatu Undang-undang;
BAB I 
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam  Undang-undang ini yang di maksud dengan:
  1. Wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata.
  2. Wisatawan adalah orang yang melakukan kegiatan wisata.
  3. Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. 
  4. Kepariwisataan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan pariwisata.
  5. Usaha pariwisata adalah kegiatan yang bertujuan menyelenggarakan jasa pariwisata atau menyediakan atau mengusahakan obyek dan daya tarik wisata, usaha sarana wisata dan usaha lain yang terkait di bidang tersebut. 
  6. Obyek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata. 
  7. Kawasan pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. 
  8. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang kepariwisataan. 
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Penyelenggaraan kepariwisataan dilaksanakan berdasarkan asas manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan, dan kepercayaan pada diri sendiri.

Pasal 3
Penyelenggaraan kepariwisataan bertujuan:
  • Memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan, dan meningkatkan mutu obyek dan daya tarik wisata;
  • Memupuk rasa cinta tanah air dan meningkatkan persahabatan antar bangsa;
  • Memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja;
  • Meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
  • Mendorong pendayagunaan produksi nasional.
BAB III
OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA
Pasal 4
(1) Obyek dan daya tarik wisata terdiri atas:
  • Obyek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang berwujud keadaan alam, serta flora dan fauna;
  • obyek dan daya wisata hasil karya manusia yang berwujud museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro, wisata tirta, wisata buru, wisata petualangan alam, taman rekreasi, dan tempat hiburan.
(2) Pemerintah menetapkan obyek dan daya tarik wisata selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b
Pasal 5
Pembangunan obyek dan daya tarik wisata dilakukan dengan cara mengusahakan, mengelola, dan membuat obyek-obyek baru sebagai obyek dan daya tarik wisata sebagaimana dimaksud dalam pasal 4.

Pasal 6
Pembangunan obyek dan daya tarik wisata dilakukan dengan memperhatikan:
  • Kemampuan untuk mendorong peningkatan perkembangan kehidupan ekonomi dan sosial budaya
  • nilai-nilai agama, adat istiadat, serta pandangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
  • Kelestarian budaya dan mutu lingkungan hidup
  • kelangsungan usaha pariwisata itu sendiri.
BAB IV
USAHA PARIWISATA
Bagian Pertama
Penggolongan Usaha
Pasal 7
Usaha pariwsata digolongkan ke dalam: 
  • Usaha jasa pariwisata
  • pengusahaan obyek dan daya tarik wisata
  • usaha sarana pariwisata.
Pasal 8
Usaha jasa pariwisata meliputi penyediaan jasa perencanaan, jasa pelayanan, dan jasa penyelenggaraan pariwisata.

Pasal 9
(1) Usaha jasa pariwisata dapat berupa jenis-jenis usaha:
  • jasa biro perjalanan wisata;
  • jasa agen perjalanan wisata
  • jasa pramuwisata
  • jasa konvensi, perjalanan insentif dan pameran 
  • jasa impresariat
  • jasa konsultan pariwisata
  • jasa informasi pariwisata
(2) Pemerintah dapat menetapkan jenis usaha jasa pariwisata selain sebagaimana dimaksud ayat (1)

Pasal 10
  1. Usaha jasa pariwisata dilaksanakan oleh badan usaha yang berbentuk badan hukum Indonesia
  2. Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam melakukan kegiatan usahanya harus berdasarkan izin. 
  3. Syarat-syarat usaha jasa pariwisata dan ketentuan lain mengenai pelaksanaan kegiatan usaha jasa pariwisata diatur lebih lanjut oleh Menteri. 
Pasal 11
Usaha jasa biro perjalanan wisata merupakan usaha penyediaan jasa perencanaan dan/atau jasa pelayanan dan penyelenggaraan wisata. 
Pasal 12
  1. Usaha jasa impresariat merupakan kegiatan pengurusan penyelenggaraan hiburan, baik yang berupa mendatangkan, mengirim maupun mengembalikannya, serta menentukan tempat, waktu dan jenis hiburan. 
  2. Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi bidang seni dan olah raga. 
  3. Penyelenggaraan usaha jasa impresariat dilakukan dengan memperhatikan nilai-nilai agama, budaya bangsa, kesusilaan, dan ketertiban umum. 
Pasal 13
  1. Usaha jasa informasi pariwisata merupakan usaha penyediaan informasi, penyebaran, dan pemanfaatan informasi kepariwisataan.
  2. Penyediaan, penyebaran, dan pemanfaatan informasi kepariwisataan dapat juga dilakukan oleh masyarakat. 
Pasal 14
Usaha jasa konvensi, perjalanan insentif, dan pameran meliputi jasa perencanaan, penyediaan fasilitas, jasa pelayanan, jasa penyelenggaraan konvensi, perjalanan insentif, dan pameran.
Bagian Ketiga
Pengusahaan Obyek dan Daya Tarik Wisata
Pasal 15
Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata meliputi kegiatan membangun dan mengelola obyek dan daya tarik wisata beserta prasarana dan sarana yang diperlukan atau kegiatan mengelola obyek dan daya tarik wisata yang telah ada.

Pasal 16
(1) Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata dikelompokkan ke dalam:
  • pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam;
  • pengusahaan obyek dan daya tarik wisata budaya;
  • pengusahaan obyek dan daya tarik wisata minat khusus.
(2) Pemerintah  dapat menetapkan jenis pengusahaan obyek dan daya tarik wisata yang termasuk di dalam
     tiap-tiap kelompok sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

Pasal 17
  1. Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata dapat dilakukan oleh badan usaha atau perseorangan.
  2. Badan usaha atau perseorangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam melakukan kegiatan usahanya harus berdasarkan izin
  3. Syarat-syarat pengusahaan obyek dan daya tarik wisata dan ketentuan mengenai pelaksanaan kegiatan pengusahaan obyek dan daya tarik wisata diatur lebih lanjut oleh pemerintah. 
Pasal 18
Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam merupakan usaha pemanfaatan sumber daya alam dan tata lingkungannya untuk dijadikan sasaran wisata.

Pasal 19
Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata budaya merupakan usaha pemanfaatan seni budaya bangsa untuk dijadikan sasaran wisata. 
Pasal 20
Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata minat khusus merupakan usaha pemanfaatan sumber daya alam dan potensi seni budaya bangsa untuk menimbulkan daya tarik dan minat khusus sebagai sasaran wisata. 

Pasal 21
Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata yang berintikan kegiatan yang memerlukan pengamanan terhadap keselamatan wisatawan, kelestarian dan mutu lingkungan, atau ketertiban dan ketentraman masyarakat diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 

Bagian Keempat
Usaha Sarana Pariwisata
Pasal 22
Usaha sarana pariwisata meliputi kegiatan pembangunan, pengelolaan dan penyediaan fasilitas, serta pelayanan yang diperlukan dalam penyelenggaraan pariwisata. 

Pasal 23
(1) Usaha sarana pariwisata dapat berupa jenis-jenis usaha:
  • penyediaan akomodasi
  • penyediaan makanan dan minuman
  • penyediaan angkutan wisata
  • penyediaan sarana wisata tirta;
  • kawasan pariwisata.
(2) Pemerintah dapat menetapkan jenis usaha sarana pariwisata selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

Pasal 24
  1. Usaha sarana pariwisata dapat dilakukan oleh badan usaha atau perseorangan
  2. Badan usaha atau perseorangan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam melakukan kegiatan usahanya harus berdasarkan izin, kecuali beberapa jenis usaha yang berupa usaha rumah tangga. 
  3. Syarat-syarat bagi usaha sarana pariwisata dan ketentuan lain mengenai pelaksanaan kegiatan usaha sarana pariwisata diatur lebih lanjut oleh Menteri. 
Pasal 25
  1. Usaha penyediaan akomodasi merupakan usaha penyediaan kamar dan fasilitas yang lain serta pelayanan yang diperlukan
  2. Usaha penyediaan setiap jenis akomodasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibedakan atas kriteria yang, disusun menurut jenis dan tingkat fasilitas yang disediakan. 
Pasal 26
  1. Usaha penyediaan makan dan minum merupakan usaha pengelolaan, penyediaan, dan pelayanan makanan dan minuman
  2. Usaha penyediaan makan dan minum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan sebagai bagian dan penyediaan akomodasi ataupun sebagai usaha yang berdiri sendiri. 
  3. Dalam kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat pula diselenggarakan pertunjukan atau hiburan. 
Pasal 27
  1. Usaha penyediaan angkutan wisata merupakan usaha khusus atau sebagian dari usaha dalam rangka penyediaan angkutan pada umumnya. 
  2. Usaha penyediaan angkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan oleh usaha angkutan khusus wisata, atau usaha angkutan umum yang menyediakan juga angkutan khusus wisata atau usaha angkutan umum dapat dipergunakan sebagai angkutan wisata. 
Pasal 28
  1. Usaha penyediaan sarana wisata tirta merupakan usaha yang kegiatannya menyediakan dan mengelola prasarana dan sarana serta jasa-jasa lainnya yang berkaitan dengan kegiatan wisata tirta. 
  2. Usaha penyediaan sarana wisata tirta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan, di laut, sungai, danau, rawa dan waduk. 
Pasal 29
  1. Usaha kawasan pariwisata merupakan usaha yang kegiatannya membangun atau mengelola kawasan dengan luas tertentu untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. 
  2. Penetapan suatu kawasan sebagai kawasan pariwisata dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan tata ruang kawasan dan berdasarkan rencana pengembangan kepariwisataan. 
BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 30
  1. Masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan kepariwisataan. 
  2. Dalam rangka proses pengambilan kebutuhan Pemerintah dapat mengikutsertakan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melalui penyampaian saran, pendapat dan pertimbangan.
  3. Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PEMBINAAN
Pasal 31
  1. Pemerintah melaksanakan pembinaan kepariwisataan dalam bentuk pengaturan, pemberian bimbingan, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan kepariwisataan. 
  2. Pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 32
  1. Pembinaan kepariwisataan diarahkan untuk mewujudkan dan memelihara kelestarian serta keutuhan obyek dan daya tarik wisata. 
  2. Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga termasuk penyediaan kawasan pariwisata dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat untuk ikut serta dalam pembangunan, pengembangan, pengelolaan dan pemilikan kawasan pariwisata. 
Pasal 33
  1. Dalam pembinaan kepariwisataan, termasuk pembinaan terhadap pendidikan, tenaga kepariwisataan yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli dan tenaga terampil di bidang kepariwisataan.
  2. Pendidikan tenaga kepariwisataan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional. 
BAB VII
PENYERAHAN URUSAN
Pasal 34
  1. Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang penyelenggaraan kepariwisataan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 
  2. Ketentuan mengenai penyerahan sebagian urusan di bidang penyelenggaraan kepariwisataan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 35
  1. Barangsiapa melakukan perbuatan melawan hak, dengan sengaja merusak, mengurangi, mengurangi nilai, memisahkan atau membuat tidak dapat berfungsi atau tidak dapat berfungsinya secara sempurna suatu obyek dan daya tarik wisata, atau bangunan obyek dan daya tarik wisata, atau bagian dari bangunan obyek dan daya tarik wisata, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
  2. Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak mengurangi ancaman pidana yang ditetapkan dalam ketentuan perundang-undangan mengenai lingkungan hidup, cagar budaya, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, perikanan, dan undang-undang yang lainnya.
Pasal 36
Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 37
Barang siapa karena kelalaiannya merusak atau mengakibatkan terganggunya keseimbangan atau mengakibatkan gangguan terhadap kelancaran kegiatan yang menjadi objek dan daya tarik wisata dalam wisata budaya dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).

Pasal 38
Barang siapa karena kelaliannya melanggar pasal 12 dan pasal 35 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).

Pasal 39
  1. Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 dan pasal 36 adalah kejahatan.
  2. Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 dan pasal 38 adalah pelanggar
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal di undangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Oktober 1990
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Oktober 1990
Menteri Sekretaris Negara
Republik Indonesia

MOERDIONO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NO 78

Sumber: Buku Undang - Undang RI No 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan 
Penerbit: Citra Umbara, Bandung


    1 Response to "Undang-Undang RI No 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan"

    MAAF KOMENTAR SPAM KAMI HAPUS